Perang Nyata Melawan Kecerdasan Buatan

Sophia Pertama kali diaktifkan pada 2016 dan mendapatkan kewarganegaraan Arab Saudi pada tahun 2017
Menjadikannya robot pertama yang memperoleh kewarganegaraan

Perang Nyata Melawan Kecerdasan Buatan

Revolusi industri 4.0 menjadi tiket masuk bagi kecerdasan buatan untuk memudahkan segala aktivitas manusia. Bisa kita bayangkan dari bangun tidur sampai tidur lagi, kecerdasan buatan tidak bisa lepas dari genggaman tangan manusia. Bahasa pemrograman baik di ponsel pintar, mesin, kendaraan, laptop, notebook, dan alat elektronik lainnya menjadi tempat berkembangnya kecerdasan buatan.
Sebagaimana layaknya sebuah makhluk hidup, kecerdasan buatan juga terus tumbuh pesat. Kecerdasan buatan terus bertransformasi seiring dengan perubahan zaman. Dari yang bersifat sangat rumit dan kompleks kini menjadi lebih sederhana. Dari yang sulit hingga mudah.
Kecerdasan buatan diciptakan oleh manusia, namun kerap kecerdasan buatan dianggap lebih cerdas dari manusia sebagai penciptanya. Robot dengan kecerdasan buatan kelas tinggi telah mampu mengidentifikasi penyakit kanker hanya dalam hitungan jam. Robot itu berhasil mengalahkan rekor belasan dokter di rumah sakit yang biasanya menghabiskan berminggu-minggu untuk mendeteksi penyakit mematikan itu.
Kecerdasan buatan dalam mobil self-driving membuat manusia yang puluhan kali gagal dalam mengikuti ujian kemudi akhirnya bisa bernafas lega, meski sebenarnya kecerdasan buatan sedang tertawa mengejek manusia gagal itu.

Manusia VS Kecerdasan Buatan

Bagaimana dengan perasaan? Boleh jadi kecerdasan buatan mampu mengidentifikasi penyakit kanker dengan cepat tapi kecerdasan buatan tidak memiliki hati yang bisa menghibur si pasien jika memang terjangkit penyakit kanker.
Tak aneh jika kecerdasan buatan diprogramkan untuk menghindari kecelakaan di jalan raya, tapi bagaimana dengan mobil yang tiba-tiba mogok di tengah jalan karena rusaknya sistem pemrograman? Mampukah kecerdasan buatan bisa memperbaikinya sendiri?
Kecerdasan buatan tetap saja memiliki kelemahan. Tak ada yang sempurna bagi benda atau suatu hal yang dibuat manusia. Di sinilah poinnya, sempurna. Manusia selalu berlomba-lomba untuk menjadi sempurna. Kelemahan dari kecerdasan buatan akan terus diperbaiki manusia yang selalu merasa kurang puas.
Terbukti, kini ada kecerdasan buatan yang digadang-gadangkan memiliki perasaan mungkin ada algoritma khusus berbentuk hati di dalamnya. Adalah robot Sophia, seorang robot yang diklaim paling sempurna karena bisa tersenyum, marah, dan menjajal semua ekspresi manusia lainnya. Robot itu pun mendapatkan kartu identitas kewarganegaraan Arab Saudi layaknya manusia sungguhan.

Ketidakpuasan Manusia 

Lalu apa manusia merasa puas? Tentu saja tidak. Robot itu masih lembek, tidak seperti manusia pada umumnya.
Banyak yang bilang ketidakpuasan manusia justru membuat ilmu pengetahuan berkembang. Namun Bagaimana jika sifat itu justru membuat manusia merasa bahwa entitas mereka paling sempurna sampai meniadakan Tuhan. Mereka tidak butuh Tuhan karena merasa paling sempurna, begitu kira-kira sanggahannya.
Kecerdasan buatan hasil ketidakpuasan manusia justru akan menimbulkan banyak kekacauan, bahkan lebih parahnya dianggap akan menciptakan masa kegelapan sampai peperangan.
Kecerdasan buatan merupakan representasi dari manusia sebagai pembuatnya. Sifat dasar manusia yang bagaikan serigala bagi serigala lain tak bisa dilepaskan begitu saja. Manusia pun diidentifikasi sebagai makhluk yang selalu berkompetisi untuk mencapai tujuan tertentu. Sifat dasar inilah yang membuat kecerdasan buatan sebagai sebuah ancaman nyata.
Sifat dasar manusia yang selalu berkompetisi sudah terbukti sejak pertama kalinya Nabi Adam diturunkan ke bumi ini. Lalu berlanjut peristiwa pembunuhan Habil oleh Qabil untuk menyelamatkan hasratnya sampai bencana kemanusiaan di Selandia Baru yang baru-baru ini terjadi. Deretan peristiwa memilukan itu adalah contoh nyata dari sifat dasar manusia yang selalu mempertahankan egonya sehingga cenderung berkompetisi ketimbang bersinergi.

Perang Melawan Kecerdasan Buatan

Kalau perang akibat ulah kecerdasan buatan benar-benar terjadi, apa kecerdasan buatan akan dimasukkan ke sel tahanan atas perbuatannya yang keji? Dan apakah kecerdasan buatan dihakimi di akhirat kelak? Tentu saja tidak, karena bagaimanapun juga manusialah yang bertanggung jawab atas kekacauan yang dibuat olehnya.
Sejatinya genderang perang melawan kecerdasan buatan sudah ditabuh, jauh-jauh hari sebelum kecerdasan buatan itu dibuat. Bukan perang antar manusia dengan kecerdasan buatan secara langsung, melainkan antar manusia dengan egonya sendiri. Inilah sejatinya perang.
Bagaimana manusia merasa puas akan hasil temuanya dengan mengucapkan syukur atas karunia Tuhan yang memberinya akal untuk berpikir. Bagaimana manusia tidak ada apa-apanya dengan langit dan seisinya. Bagaimana manusia bertanggung jawab terhadap temuannya. 
Bagaimana manusia bisa saling bersinergi dan berkolaborasi untuk menciptakan perdamaian dunia. Semua gejolak pertanyaan itu hanya bisa dijawab melalui hati bukan otak. Kalau masih tidak dapat dijawab barangkali kita sebagai manusia perlu mencerna kalimat berikut ini:

Sekarang banyak setan menganggur karena banyak manusia yang kelakuannya lebih bejat dari setan itu sendiri

Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!


Eksplorasi konten lain dari INOVASI MEDIA INFORMASI

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.