Purwakarta, candatangan – Setiap orang yang tertidur pasti akan bermimpi, meskipun banyak yang mengaku tidak mengingatnya saat terbangun. Sebagian orang percaya bahwa mimpi membawa suatu pertanda.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!وَمِنْ آيَاتِهِ مَنَامُكُمْ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari” (QS. Ar-Rum: 23)
Tidak ada satu pun manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan, yang sudah dewasa maupun yang masih anak-anak, kecuali pasti pernah mengalami mimpi di saat tidur. Begitu banyak dalil-dalil sahih yang menjelaskan hakikat mimpi ini, namun tetap saja mimpi masih menjadi salah pintu masuk terjadinya khurafat dan perilaku-perilaku yang menyimpang dari ajaran Islam.
Banyak kita jumpai orang yang mengambil keputusan dan menentukan hubungannya dengan orang lain berdasarkan mimpi yang ia alami. Banyak juga yang menjadi optimis ataupun pesimis akan suatu hal yang ia alami hanya karena ia melihat mimpi yang menenangkannya ataupun mimpi yang mengganggunya. Di sisi lain, banyak sekali manusia yang mengaku-ngaku ahli di dalam menafsirkan mimpi, padahal ia sama sekali tidak berkecimpung di bidang tersebut, memanfaatkan obsesi dan rasa ingin tahu manusia hanya demi mengumpulkan pundi-pundi harta dan memperkaya diri.
Lalu bagaimana agama Islam ini memandang mimpi?
Pengertian Mimpi dan Macam-Macamnya
Mimpi dianggap dan didefinisikan sebagai serangkaian fantasi yang mungkin menimpa seseorang selama tidurnya, dan mimpi itu berbeda dalam urutan dan logikanya dengan kehidupan nyata. Terdapat banyak teori dan penjelasan mengapa mimpi ini bisa terjadi serta banyak usaha untuk mengartikan dan menerka maknanya. Mimpi juga dianggap sebagai sarana untuk mewujudkan dan memenuhi apa yang sedang diinginkan jiwa serta motifnya.
Di dalam agama Islam, mimpi terbagi menjadi tiga macam. Hal ini berdasarkan hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
الرؤيا ثلاث حديث النفس وتخويف الشيطان وبشرى من الله
“Mimpi itu ada tiga macam: bisikan hati, rasa takut dari setan, dan kabar gembira dari Allah.” (HR. Bukhari)
Pertama: Mimpi yang baik (ru’ya shalihah hasanah), yaitu jika seseorang bermimpi hal yang ia sukai. Mimpi ini datangnya dari Allah Ta’ala dan itu suatu nikmat. Karena jika ia bermimpi seperti itu, ia menjadi semangat dan bergembira. Inilah yang dimaksud dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لم يبق من النبوة إلا المبشرات قالوا وما المبشرات قال الرؤيا الصالحة
“Tidak tersisa dari kenabian, kecuali kabar-kabar gembira.” Para sahabat bertanya, “Apakah hal yang menggembirakan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mimpi yang baik.” (HR. Bukhari)
Kedua: Mimpi buruk (ru’ya makruhah), mimpi ini datang dari setan. Dan ini sering kali menggelisahkan dan mengganggu. Salah satu terapi dari mimpi seperti ini adalah membaca ta’awudz, yaitu meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari godaan setan. Jika kita mengalaminya, maka yang harus kita lakukan adalah bersabar. Karena ingatlah bahwa setan itu musuh manusia dan berusaha menyakiti serta membuat sedih, bahkan di dalam tidur kita. Coba kita renungkan dengan baik ayat berikut,
إِنَّمَا النَّجْوَىٰ مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari setan, supaya orang-orang yang beriman itu bersedih, sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudharat sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. Al-Mujadalah: 10)
Ketiga: Mimpi biasa yang tidak ada maksud apa pun. Biasanya itu cuma bisikan jiwa atau suatu pikiran yang akhirnya terbawa dalam mimpi.
Bagaimana Menyikapi Mimpi yang Baik dan Mimpi yang Buruk?
Jika ada seseorang yang mendapatkan mimpi yang baik, mimpi yang disukainya, mimpi yang mengandung kebahagiaan, apa yang harus ia lakukan?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إذا رأى أحدكم رؤيا يحبها، فإنما هي من الله، فليحمد الله عليها وليحدث بها
“Jika seseorang di antara kalian bermimpi dengan sesuatu yang menggembirakannya, ketahuilah bahwa itu merupakan karunia dari Allah, hendaklah ia memuji Allah, lalu ia boleh menceritakan mimpi tersebut.” (HR. Bukhari)
Rasulullah juga bersabda di dalam riwayat lain, “Jika ia melihat mimpi yang baik, maka ia memberikan kabar gembira dan janganlah kalian ceritakan, kecuali pada orang yang juga ikut menyukai mimpi tersebut.” (HR. Muslim)
Dari kedua hadis tersebut ada beberapa adab yang bisa kita amalkan saat mendapatkan mimpi yang baik:
Pertama, memuji Allah Ta’ala.
Kedua, memohon kepada Allah Ta’ala agar yang dia impikan terwujud di kehidupan nyata.
Ketiga, menceritakan hal tersebut kepada orang-orang yang ia cintai, sebagai bentuk berbagi kebahagiaan.
Keempat, tidak menceritakan mimpinya tersebut untuk orang yang berpotensi hasad dan dengki ataupun orang yang bodoh akan hal itu.
Adapun jika seseorang bermimpi dengan sesuatu yang ia benci, maka nabi juga sudah memberikan beberapa arahan untuk menghadapinya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وإذا رأى ما يكره فليتعوذ بالله من شرها، ومن شر الشيطان، وليتفل ثلاثا، ولا يحدث بها أحدا، فإنها لن تضره
“Jika kalian mimpi sesuatu yang tidak kalian suka, maka memohonlah perlindungan pada Allah atas keburukan mimpi tersebut dan dari keburukan setan, meludahlah tiga kali, dan jangan kalian ceritakan pada siapa pun, maka mimpi buruk itu tidak akan membahayakan pada kalian.” (HR. Bukhari)
Di dalam hadis lain disebutkan,
إِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ الرُّؤْيَا يَكْرَهُهَا، فَلْيَبْصُقْ عَنْ يَسَارِهِ ثَلَاثًا وَلْيَسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ ثَلَاثًا، وَلْيَتَحَوَّلْ عَنْ جَنْبِهِ الَّذِي كَانَ عَلَيْهِ
“Ketika kalian melihat mimpi yang tidak kalian suka, maka meludahlah dari arah kiri kalian tiga kali dan memohonlah perlindungan kepada Allah dari setan tiga kali, dan hendaklah kalian berpindah dari posisi tidur yang semula ia lakukan.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda dalam riwayat lain,
فَمَنْ رَأَى شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلاَ يَقُصَّهُ عَلَى أَحَدٍ وَلْيَقُمْ فَلْيُصَلِّ
“Barang siapa yang bermimpi sesuatu yang tidak disukai, maka jangan ceritakan pada siapa pun. Berdiri, lalu salatlah!” (HR. Bukhari).
Merangkum dari 3 hadis di atas, terdapat enam anjuran yang sunah jika dilakukan ketika sehabis mengalami mimpi buruk.
Pertama, meminta perlindungan pada Allah Ta’ala atas keburukan mimpi yang dialami.
Kedua, meminta perlindungan kepada Allah Ta’ala dari setan dengan melafalkan ta’awudz, A‘ûdzu Billâhi minasy-syaithânir-rajîm (Aku berlindung kepada Allah Ta’ala dari setan yang terkutuk).
Ketiga, meludah sebanyak tiga kali pada arah ke kiri untuk mengusir dan melecehkan mereka.
Keempat, tidak menceritakan hal tersebut kepada seorang pun, sehingga orang tersebut terburu-buru berusaha mengartikan mimpi tersebut dengan sesuatu yang dibenci oleh si pemimpi.
Kelima, melaksanakan salat ketika terbangun dari tidurnya, karena sejatinya salat mengusir setan.
Keenam, berpindah posisi. Jika sebelumnya ia menghadap kiri, maka ia bersegera mengganti arah dengan menghadap kanan.
Adapun jika ia terbangun dan ketakutan karena mimpinya, maka hendaklah ia membaca do’a,
أعوذُ بِكَلماتِ اللَّهِ التَّامَّةِ ، من غَضبِهِ وعقَابِهِ وشرِّ عبادِهِ ، ومن هَمزاتِ الشَّياطينِ وأن يحضُرونِ
“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kemarahan-Nya, siksaan-Nya, kejahatan hamba-hamba-Nya, godaan setan, serta kehadiran mereka (setan) ke hadapanku).” (HR. Abu Dawud)
Jika seorang hamba sudah melakukan hal itu, maka insya Allah mimpi tersebut tidak akan membahayakannya sama sekali. Wabillahi At-taufiik.
Takwil mimpi, bagaimana Islam menyikapinya?
Pada pembahasan yang lalu telah kita bahas bahwa mimpi terbagi menjadi mimpi baik dan mimpi buruk. Mimpi baik merupakan mimpi yang bisa dipercaya. Sedangkan mimpi buruk adalah mimpi yang sering kali mengganggu diri kita.
Seorang muslim tentu saja menginginkan agar mimpi-mimpinya dipenuhi dengan mimpi yang baik dan menggembirakan. Hal itu merupakan karunia yang tidak semua orang bisa memperolehnya. Mimpi tersebut hanya diperoleh oleh mereka yang berhak dari kalangan kaum mukminin.
Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata di dalam kitabnya Madarijus Saalikiin, “Barang siapa yang menginginkan mimpinya menjadi mimpi yang indah dan membahagiakan, hendaklah ia berusaha untuk selalu jujur, memakan hanya makanan yang halal, menjaga dan menjalankan perintah Allah Ta’ala, menjauhi larangan Allah Ta’ala, tidur dalam keadaan suci (berwudu sebelumnya), menghadap kiblat, dan berzikir kepada Allah hingga matanya tertutup. Maka mimpinya (insyaallah) tidak akan dipenuhi dengan kedustaan dan keburukan.
Mimpi terbaik adalah mimpi di waktu sahur karena saat itu waktu turunnya Allah Ta’ala ke langit dunia. Waktu sahur juga merupakan waktu dekatnya rahmat dan ampunan Allah Ta’ala. Sedangkan mimpi buruk sering kali terjadi di waktu salat Isya karena itu adalah waktunya setan berkeliaran.”
Di antara hal lain yang harus kita perhatikan agar mimpi-mimpi kita dihiasi dengan kebaikan dan kebahagiaan adalah menjaga dan mengamalkan doa-doa yang menjaga diri kita dari godaan setan. Sebagaimana pula kita selalu berdoa dan memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan kita sebagai hamba yang bertakwa dan termasuk dari hamba yang dipenuhi dengan kejujuran, baik dalam kondisi tersadar maupun dalam kondisi tertidur.
Di antara hal-hal yang wajib diperhatikan dalam perkara mimpi adalah tidak berlebih-lebihan di dalam mencari takwil mimpi, dan mengetahui batasan serta kaidah-kaidah dalam takwil mimpi.
Takwil mimpi
Menakwilkan mimpi maksudnya adalah memberitahukan apa arti dan kandungan sebuah mimpi.
Menakwilkan mimpi bisa terjadi untuk mimpi yang baik maupun yang buruk. Sebagaimana perkataan Nabi Yusuf ‘Alaihis salam di dalam Al-Qur’an,
يٰصَاحِبَيِ السِّجْنِ اَمَّآ اَحَدُكُمَا فَيَسْقِيْ رَبَّهٗ خَمْرًا ۗوَاَمَّا الْاٰخَرُ فَيُصْلَبُ فَتَأْكُلُ الطَّيْرُ مِنْ رَّأْسِهٖ ۗ قُضِيَ الْاَمْرُ الَّذِيْ فِيْهِ تَسْتَفْتِيٰنِۗ
“Wahai kedua penghuni penjara, ‘Salah seorang di antara kamu, akan bertugas menyediakan minuman khamr bagi tuannya. Adapun yang seorang lagi, dia akan disalib, lalu burung memakan sebagian kepalanya. Telah terjawab perkara yang kamu tanyakan (kepadaku).’” (QS. Yusuf: 41).
Telah kita ketahui bersama, bahwa mimpi seorang muslim terbagi menjadi dua, mimpi yang baik dan mimpi yang buruk. Saat ia bermimpi buruk, maka sudah sepantasnya untuk tidak menceritakannya kepada orang lain. Apalagi meminta penjelasan dan takwil dari mimpi buruknya tersebut. Adapun ketika ia mendapati mimpi yang baik dan membahagiakan, maka ia dibolehkan untuk menceritakannya dan mencari takwilnya. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassallam,
إذا رأى أحدُكم الرؤيا الحسنةَ فلْيُفسرْها ، و لْيُخبرْ بها ، و إذا رأى الرؤيا القبيحةَ ، فلا يُفَسِرْها و لا يُخبرُ بها
“Jika kalian mengalami mimpi yang baik, maka carilah artinya dan ceritakanlah mimpi indah itu. Dan jika kalian mengalami mimpi buruk, maka janganlah ia mencari-cari takwil dan artinya, dan jangan pula menceritakannya kepada orang lain” (HR. As-Suyuti dalam Al-jami’ As-Shaghir).
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika hendak mencari takwil ataupun arti mimpi:
Pertama, hendaklah kita bertanya kepada orang yang memang ahli di bidang takwil mimpi, cerdas, bertakwa, suci dari perbuatan keji, menguasai Al-Quran, memahami hadis nabi, menguasai bahasa Arab, dan permisalan yang biasa diucapkan oleh orang-orang Arab.
Kedua, hendaklah orang yang menafsirkan dan menerjemahkan mimpi tersebut melihat dan menafsirkan mimpi sesuai dengan kondisi si penanya, baik itu kedudukan, mazhab, dan agamanya. Bahkan disesuaikan dengan zaman, tempat tinggal, dan iklim negara si penanya.
Ketiga, wajib bagi orang yang menafsirkan mimpi tersebut untuk menutupi aib dan hal-hal yang tidak perlu ditampakkan dari setiap manusia serta tidak terburu-buru di dalam menafsirkan.
Keempat, hendaknya seorang penafsir mimpi mengatakan kepada orang yang menceritakan mimpinya, “Khairan ra’aita wa khairan talqaahu wa syarran tatawaqqaahu wa khairan lanaa wa syarran ala a’daaina, walhamdullillahi Rabbil aalamiin (Kamu telah melihat kebaikan, dan kamu telah mendapati kebaikan. Kamu telah terhindar dari keburukan. Kebaikan untuk kita semua dan kejelekan untuk musuh-musuh kita. Segala puji hanyalah milik Allah Rabb seluruh alam).”
Penjelasan adab-adab di atas menjelaskan kepada kita bahwa menafsirkan dan menakwilkan mimpi tidak bisa dilakukan oleh orang sembarangan. Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya, “Apakah semua orang bisa menakwilkan mimpi?” Maka beliau menjawab, “Akankah ia bermain-main dengan kenabian?!” Lalu beliau Rahimahullah melanjutkan,
الرؤيا جزء من النبوة فلا يلعب بالنبوة
“Mimpi itu sebagian dari kenabian, maka janganlah ia bermain dengan perkara kenabian.”
Hukum membaca buku tafsir mimpi
Syekh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah pernah ditanya mengenai hal ini, lalu beliau menjawab, “Tidak ada salahnya membaca kitab-kitab tafsir, Ibnu Sirin, dan lain-lain. Buku-buku tafsir mimpi bermanfaat bagi pencari ilmu. Akan tetapi, jangan sampai terlalu bergantung kepadanya. Penuntut ilmu selalu bersandar kepada dalil. (Saat menghadapi permasalahan) dia harus mencari dalilnya, mempelajarinya, dan melihat dari qarinah (petunjuk-petunjuk yang ada). Apabila dia ragu dan tidak yakin dalam suatu permasalahan, maka ia tidak ragu dan tidak gengsi untuk mengatakan, ‘Mungkin yang dimaksud adalah seperti itu …. (tidak merasa bahwa dia benar).’
Apabila dia melihat mimpi yang baik, maka ia harus memuji Allah Ta’ala, seperti misalnya, ketika dia melihat bahwa dirinya sedang menpelajari agama ini, atau ketika dia melihat bahwa dirinya masuk surga, atau ketika dia bermimpi sedang berbakti kepada kedua orang tuanya, atau ketika dia bermimpi bahwa dirinya bisa menjaga salat. Mimpi-mimpi tersebut mengharuskan ia untuk selalu memuji Allah Ta’ala.”
Jawaban Syekh bin Baz di atas menjelaskan kepada kita bahwa membaca buku tafsir mimpi hukumnya boleh untuk seorang penuntut ilmu yang sudah mengetahui dalil. Sehingga ia bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah. Adapun orang awam yang belum mengetahui dalil, lebih baik untuk tidak membaca kitab-kitab ini. Namun, yang harus ia lakukan ketika ingin menafsirkan mimpinya adalah mendatangi ahli ilmu yang memang kompeten di bidang ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. An Nahl: 43).
Kaidah-kaidah mimpi
Kaidah pertama, mimpi tidak memiliki pengaruh terhadap syariat agama karena syariat bersumber dari dalil dan hukum yang dihasilkan dari dalil. Sedangkan mimpi tidak memiliki pengaruh pada syariat dan tidak dijadikan sumber adanya suatu hukum fikih. Apabila ada mimpi yang sejalan dengan beberapa syariat yang sudah ada, maka landasan mengamalkan syariat tersebut adalah dalil atau hasil ijtihad ulama yang berlandaskan dalil. Syariat itu bukan dilandaskan kepada mimpi.
Kaidah kedua, mimpi yang benar tidak akan menyelisihi syariat. Sehingga ketika seseorang bermimpi yang mengandung penyelisihan terhadap syariat, maka mimpi tersebut tidak dianggap sama sekali. Walaupun ia mengaku-nagaku perihal sesuatu atau pun mengaku didatangi oleh siapapun. Perlu kita ketahui bahwa setan sering mengganggu orang-orang saleh. Oleh karena itu, syariat ini adalah penengah untuk segala macam tingkah laku manusia, baik itu dalam kondisi sadar ataupun tertidur.
Kaidah ketiga, wajib berhati-hati jika ada orang yang mengaku ahli menerjemahkan mimpi. Padahal dia tidak memiliki ilmu tentang tafsir mimpi sama sekali. Bahkan orang tersebut adalah orang bodoh atau dikenal karena khurafat dan bid’ah yang dia lakukan.
Kaidah keempat, tidak berlebih-lebihan dalam masalah takwil mimpi sehingga menanyakan makna dan arti mimpi dari semua mimpinya di malam hari. Tidak boleh juga menghabiskan waktu untuk mengirimkan pesan di media sosial atau menyebarkan tafsir mimpi seseorang ke seluruh grup yang dia ikuti karena semua itu termasuk menyia-nyiakan waktu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْه
“Di antara tanda kebaikan ke-Islaman seseorang jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi, hasan)..
Sumber:
Kitab Arru’ya wal Ahlam fii sunnati haadi Al-anam karya Ahmad bin Sulaiman al-Urayni dan beberapa sumber lainnya.
Penggolongan Mimpi
Menurut Ustadz Dr. Abdullah Roy, Lc., M.A Mimpi terbagi menjadi 3 macam:
Pertama : mimpi yang berasal dari Allah, ini adalah mimpi yang baik dan menyenangkan hati.
Kedua : mimpi yang berasal dari syetan, ini adalah mimpi buruk dan membuat seseorang bersedih atau takut.
Ketiga : mimpi yang berasal dari diri sendiri, yaitu kejadian yang terjadi ketika dia bangun kemudian terbawa dalam mimpi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الرؤيا ثلاث: منها أهاويلُ من الشيطان لِيحزُن بها ابنَ آدم، ومنها ما يهُمُّ به الرجلُ في يَقَظَتِه، فيراه في مَنَامه، ومنها جزء من ستةٍ وأربعين جزءاً من النبوة
Artinya: “Sesungguhnya mimpi ada tiga macam: mimpi yang menakutkan yang berasal dari syetan untuk menakut-nakuti anak Adam, mimpi yang berasal dari sesuatu yang dipikirkan ketika dia bangun kemudian terbawa-bawa dalam tidurnya, dan mimpi yang merupakan satu bagian dari 46 bagian kenabian”
(HR.Ibnu Majah dari ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).
Dan mimpi yang ada ta’birnya atau tafsirnya diantara ketiga macam tersebut adalah yang berasal dari Allah.
Berkata Al-Baghawy (wafat 516 H) rahimahullah:
ليس كلُّ ما يراه الإنسانُ في منامه يكون صحيحًا، ويجوز تعبيرُه، إنما الصحيح منها ما كان من الله عزَّ وجلَّ
“Tidak semua yang dilihat oleh seseorang ketika tidurnya adalah shahih (benar) dan boleh dita’birkan (diartikan), sesungguhnya yang shahih (benar) adalah mimpi yang berasal dari Allah ‘azza wa jalla”
(Syarhussunnah 12/211)
Apabila yang dilihat dalam mimpi adalah sesuatu yang dibenci –seperti mimpi di atas- maka hendaknya berlindung kepada Allah dari was-was syetan dan jangan menceritakannya kepada orang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam bersabda:
إذا رأى أحدُكم رؤيا يُحِبُّها فإنَّما هي من الله فليحمَدِ اللهَ عليها، وليحدِّث بها. وإذا رأى غيرَ ذلك ممَّا يكرَه فإنَّما هي من الشيطان، فليستعِذْ من شرِّها، ولا يذكُرْها لأحدٍ، فإنَّها لا تضُرُّه
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian bermimpi dengan mimpi yang dia senangi maka itu berasal dari Allah, dan hendaknya dia ceritakan (kepada orang lain), dan apabila melihat yang lain dari hal-hal yang dia tidak sukai maka itu adalah mimpi dari syetan; maka hendaklah dia berlindung (kepada Allah) dari kejelekannya (mimpi tersebut), dan tidak menceritakannya kepada orang lain, maka sesungguhnya mimpi buruk tersebut tidak akan memudharatinya”
(HR. Al-Bukhari, dari Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallahu ‘anhu).