![]() |
Peta Wilayah Kerajaan Majapahit |
Purwakarta, candatangan.site – Sebenarnya kapan tradisi mudik ini ada dan berkembang di Indonesia?
Faktanya, tradisi mudik sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit atau sekitar tahun 1200-an. Waktu itu, Indonesia masih disebut sebagai Nusantara. Istilah mudik juga belum digunakan dalam tradisi pulang kampung tersebut.
Thank you for reading this post, don't forget to subscribe!Menurut Universitas Jember, pada zaman dahulu, area kekuasaan Kerajaan Majapahit begitu luas hingga Sri Lanka dan Semenanjung Malaya. Untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang luas, sang raja menempatkan pejabat di berbagai daerah. Aktivitas mobilisasi pulang kampung dilakukan oleh beberapa pejabat Majapahit yang berkuasa di luar pusat kerajaan Majapahit.
Pada suatu saat, mereka pulang untuk menghadap raja dan mengunjungi kampung halaman. Ternyata hal ini juga sama dilakukan oleh Kerajaan Mataram Islam. Di mana mereka pulang secara khusus ketika Idul Fitri datang.
Mereka kembali mengunjungi pusat kerajaan untuk menghadap raja. Momen ini juga dimanfaatkan mereka untuk mengunjungi kampung halaman. Fenomena inilah yang kemudian menjadi cikal bakal mudik.
”Yang jelas tradisi mudik baru dikembangkan dalam zaman Islam Demak atau Mataram. Itu juga hipotetik,” – Agus Aris Munandar, Arkeolog Universitas Indonesia –
Istilah mudik baru populer dan digunakan di tahun 1950-an. Masyarakat Jawa mengenal istilah mudik yang berasal dari kata “mulih disik”, artinya pulang sejenak atau pulang dulu. Menurut buku berjudul Pertanian dan Kemiskinan di Jawa (2002), tradisi mudik lekat kaitannya dengan kebiasaan petani Jawa yang mengunjungi tanah kelahirannya untuk berziarah ke makam para leluhur.
Bagi mereka, mengunjungi makam leluhur menjadi aspek spiritual penting yang harus dilakukan. Mendoakan leluhur adalah sebuah kewajiban yang perlu mereka tunaikan. Meskipun tradisi berziarah di sini harus dipisahkan dalam kondisi ruang geografis yang berbeda.
![]() |
Peninggalan Kerajaan Majapahit |
Sementara menurut Agus, budaya ziarah yang dimiliki masyarakat Jawa itu sebelumnya berasal dari upacara sraddha atau dikenal dengan nyandran. Ini dilakukan pada masa Majapahit setahun sekali di mana orang-orang datang ke candi pendarmaan raja untuk melakukan ritual.
Upacara sraddha inilah menjadi cikal bakal ziarah yang dilakukan masyarakat Jawa di berbagai daerah. Nyandran yang berasal dari upacara tersebut menjadi tradisi pembersihan makam yang dilakukan di pedesaan.
Masyarakat Jawa akhirnya rela melakukan perjalanan jauh hanya untuk menunaikan kewajiban mereka, yakni mendoakan dan membersihkan makam leluhurnya. Dan dari sini lah istilah ‘mulih disik’ atau mudik menjadi tradisi di kalangan masyarakat Jawa.
Eksisnya tradisi mudik juga dipengaruhi oleh perpindahan ibukota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Perpindahan ibukota yang diikuti dengan pembangunan besar-besaran, membuat masyarakat ramai melakukan urbanisasi.